Perjanjian Linggarjati
melibatkan pihak Indonesia dan Belanda, serta Inggris sebagai penengah.
Tokoh-tokoh dalam perundingan itu adalah Letnan Jenderal Sir Philip Christison
dari Inggris, seorang diplomat senior serta mantan duta besar Inggris di Uni
Soviet, yang kemudian diangkat sebagai duta istimewa Inggris untuk Indonesia.
Wakil dari Belanda adalah Dr. H.J. Van Mook. Indonesia diwakili Perdana Menteri
Republik Indonesia Sutan Sjahrir.
Pada awal kehadirannya di Jakarta, Van Mook mendapat tekanan
baik dari Sekutu maupun ancaman perlawanan dari pihak revolusioner Indonesia.
Pada awal itu Van Mook bersedia untuk melakukan perundingan, meskipun
pemerintah Belanda melarangnya untuk bertemu dengan Sukarno. Pada 14 Oktober
1945, Van Mook bersedia bertemu dengan Sukarno dan “kelompok-kelompok
Indonesia”. Ia tidak mau menyebut sebagai Republik Indonesia, karena pemerintah
Belanda belum mengakui pemerintahan Republik Indonesia. Pokok pikiran Van Mook
menyatakan, bahwa NICA bersedia membangun hubungan ketatanegaraan yang baru dan
status Indonesia menjadi “negara dominion” dalam persekutuan “persemakmuran
Uni-Belanda”.
Demikianlah karena tidak ada titik temu antara Indonesia dan
Belanda, Cristison tetap berusaha mempertemukan mereka. Pemerintah Belanda
diwakili oleh Van Mook dan wakilnya, Charles O. Van der Plas. Indonesia
diwakili oleh Sukarno dan Moh. Hatta yang didampingi oleh H. Agus Salim dan
Ahmad Subarjo. Dalam pertemuan itu tidak ada hasil yang memuaskan bagi pihak
Indonesia. Pihak Belanda masih menginginkan kebijakan politiknya yang lama.
Pada minggu-minggu terakhir Oktober 1945, berbagai insiden
dan konfrontasi dengan semakin banyaknya tentara NICA yang datang ke Indonesia.
Konfrontasi itu menyebabkan pihak sekutu ingin segara mengakhiri tugasnya di
Indonesia, terlebih ketika aksi-aksi kekerasan di kota besar di Indonesia,
terutama pertempuran sengit di Surabaya. Pihak sekutu ingin segera meninggalkan
Indonesia, tetap tidak mungkin melepaskan tanggungjawab internasionalnya. Untuk
itulah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan itu dengan melakukan perundingan.
a. Perundingan
Awal di Jakarta
Pada tanggal I Oktober 1945,
telah diadakan perundingan antara Christison (Inggris) dengan pihak Republik
Indonesia Dalam perundingan ini Christison mengakui secara de facto terhadap
Republik Indonesia Hal ini pula yangmemperlancar gerak masuk Sekutu ke wilayah
Indonesia. Kemudian, pihak pemerintah RI pada tanggal 1 November 1945
mengeluarkan maklumat politik. Isinya bahwa pernerintah RI menginginkan
pengakuan terhadap negara dan pernerintah RI, baik oleh Inggris maupun Belanda
sebagaimana yang dibuat sebelum PD II. Pemerintah RI juga berjanji akan
mengembalikan sernua milik asing atau memberi ganti rugi atas milik yang telah
dikuasai oleh pernerintah RI.
b.
Perundingan
Hooge Valuwe
Perundingan dilanjutkan di
negeri Belanda, di kota Hooge Veluwe bulan April 1946. Pokok pembicaraan dalam
perundingan itu adalah memutus pembicaraan yang dilakukan di Jakarta oleh Van
Mook dan Syahrir. Sebagai penengah dalam perundingan, Inggris mengirim Sir
Archibald Clark Kerr. Pada kesempatan itu Syahrir mengirim tiga orang delegasi
dari Jakarta, yaitu Mr. W. Suwandi, dr. Sudarsono, dan A.K. Pringgodigdo.
Mereka berangkat bersama Kerr pada 4 April 1946. Dari Belanda hadir lima orang
yaitu Van Mook, J.H. van Royen. J.H.Logeman, Willem Drees, dan Dr.
Schermerhorn. Perundingan tersebut untuk menyelesaikan perundingan yang tidak
tuntas saat di Jakarta.
c. Pelaksanaan
Perundingan Linggarjati
Kegagalan dalam perundingan
Hoge, pada April 1946, menjadikan pemerintah Indonesia untuk beralih pada
tindakan militer. Pemerintah Indonesia berpendapat perlu melakukan serangan
umum di kedudukan Inggris dan Belanda yang berada di Jawa dan Sumatera. Namun
genjatan senjata yang dilakukan dengan cara-cara lama dan gerilya tidak membawa
perubahan yang berarti. Resiko yang dihadapi pemerintah semakin tinggi dengan
banyaknya korban yang berjatuhan. Untuk mencagah bertambahnya korban pada bulan
Agustus hingga September 1946 direncanakan untuk menyusun konsep perang secara
defensif. Bagi Sukarno, Hatta, dan Syahrir perlawan dengan strategi perang
defentif itu lebih beresiko dibandingkan dengan cara-cara lama, karena akan
memakan korban lebih banyak lagi. Menurut mereka pengakuan kedaulatan Republik
Indonesia lebih baik dilakukan dengan jalan diplomasi.
d. Konferensi
Malino
Dalam situasi politik yang
tidak menentu di Indonesia, Belanda melakukan tekan politik dan militer di
Indonesia. Tekanan politik dilakukan dengan menyelenggarakan Konferensi Malino,
yang bertujuan untuk membentuk negara-negara federal di daerah yang baru
diserahterimakan oleh Inggris dan Australia kepada Belanda. Disamping itu, di
Pangkal Pinang, Bangka diselenggarakan konferensi untuk golongan minoritas.
Konferensi Malino diselenggarakan pada 15-26 juli 1946, sedangkan Konferensi
Pangkal Pinang pada 1 Oktober 1946. Diharapkan
daerah-daerah ini akan mendukung Belanda dalam pembentukan negara federasi. Di
samping itu, Belanda juga terus mengirim pasukannya memasuki Indonesia. Dengan
demikian kadar permusuhan antara kedua belah pihak semakin meningkat. Namun
usaha- usaha diplomasi terus dilakukan. Sebagai contoh tanggal 14 Oktober 1946
tercapai persetujuan gencatan senjata. Usaha-usaha perundingan pun terus
diupayakan.
Setelah
perjanjian Linggarjati Van Mook mengambil inisiatif untuk mendirikan
pemerintahan federal sementara sebagai pengganti Hindia Belanda. Tindakan Van
Mook itu menimbulkan kegelisahan di kalangan negara-negara bagian yang tidak
terwakili dalam susunan pemerintahan. Pada kenyataannya pemerintah federal yang
didirikan Van Mook itu tidak beda pemerintah Hindia Belanda. Untuk itulah
negara-negara federal mengadakan rapat di Bandung pada Mei – Juli 1948.
Konferensi Bandung itu dihadiri oleh empat negara federal yang sudah terbentuk
yaitu Negara Indonesia Timur, Negara Sumatera Timur, Negara Pasundan, dan
Negara Madura. Juga dihadiri oleh daerah-daerah otonom seperti, Bangka, Banjar,
Dayak Besar, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Riau, dan
Jawa Tengah. Sebagai ketua adalah Mr. T. Bahriun dari Negara Sumatera Timur.
Rapat itu
diberi nama Bijeenkomst voor federal Overleg (BFO), yaitu suatu pertemuan untuk
Musyawarah Federal. Pengambil inisiatif BFO itu adalah Ida Agung Gde Agung,
seorang perdana menteri Negara Indonesia Timur. juga R.T. Adil Puradiredja,
seorang perdana menteri Negara Pasunan. BFO itu dimaksudkan untuk mencari
solusi dari situasi politik yang genting akibat dari perkembangan politik
antara Belanda dan RI yang juga berpengaruh pada perkembangan negara-negara
bagian. Pertemuan Bandung juga dirancang untuk menjadikan pemerintahan
peralihan yang lebih baik daripada pemerintahan Federal Sementara buatan Van
Mook.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar