Perundingan
Renville secara resmi dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 di kapal Renville
yang sudah berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok. Delegasi Indonesia dipimpin
oleh Amir Syarifuddin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir
Wijoyoatmojo, orang Indonesia yang memihak Belanda.
Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Indonesia menyetujui
isi Perundingan Renville yang terdiri dari tiga hal sebagai berikut.
a. Persetujuan tentang gencatan senjata yang antara lain
diterimanya garis demarkasi Van Mook (10 pasal).
b. Dasar-dasar politik Renville, yang berisi tentang
kesediaan kedua pihak untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan cara damai (12
pasal).
c. Enam pasal tambahan dari KTN yang berisi, antara lain
tentang kedaulatan Indonesia yang berada di tangan Belanda selama masa
peralihan sampai penyerahan kedaulatan (6 pasal).
Sebagai
konsekuensi ditandatanganinya Perjanjian Renville, wilayah RI semakin sempit
dikarenakan diterimanya garis demarkasi Van Mook, dimana wilayah Republik
Indonesia meliputi Yogyakarta dan sebagian Jawa Timur. Dampak lainnya adalah
Anggota TNI yang masih berada di daerah-daerah kantong yang dikuasai Belanda,
harus ditarik masuk ke wilayah RI.
Isi Perjanjian Renville mendapat tentangan sehingga muncul
mosi tidak percaya terhadap Kabinet Amir Syarifuddin dan pada tanggal 23
Januari 1948, Amir menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden. Dengan
demikian perjanjian Renville menimbulkan permasalahan baru, yaitu pembentukan
pemerintahan peralihan yang tidak sesuai dengan yang terdapat dalam perjanjian
Linggarjati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar